Selasa, 27 Maret 2012

The Perfect Wedding Part 4


...

“Sayang, apa kamu masih punya perasaan sama dia?”
“Udahlah jelek, itu kan masalalu. Kamu sendiri yang minta aku buat cerita. Aku nggak mau ini ngrusak moment bahagia kita sebentar lagi.”
“Iyaa. Ta, aku pengen denger kamu cerita lagi.”
Dia berkata sambil tersenyum. Aku selalu nurutin apa mau dia.
“Ambil albumnya sana!”
Dia beranjak mengambil album itu, aku berbaring menunggunya di sofa.
“Ta, apa kamu lelah?”
“Iya, tapi nggak apa-apa kok. Aku capek tapi seneng. Aku udah nggak sabar.”
“Sama, Ta. Ayo cerita lagi!”
“Jelek, liat foto ini. Ini foto-foto waktu aku main ke tempat kamu di Jakarta. Sampai akhirnya mamah tahu dan aku dimarahin.”
“Kamu bandel sih, makannya bilang dulu kalo mau kemana-mana tuh.”

Dia selalu begitu, marahin aku, dia selalu berusaha buat ngejaga aku, seperti kakak aku, walaupun kenyataannya umurku setahun lebih tua darinya. Itu yang bikin aku selalu ngrasa deket walaupun jarak misahin kita begitu jauh.

“Aku nglakuin ini kan buat kamu, sayang! Nggak ngerti dasar!”
“Iya-iya. Udah jangan cemberut gitu. Jelek tau!”,”Ta, kenapa dua lembar foto di halaman paling belakang ini kosong?”
“Nanti bakal kita isi dengan foto pernikahan kita.” Jawabku sembari mengerlingkan mata kananku, genit. Dia cuma senyum.
“Ta, udah berapa lama kita pacaran jarak jauh?”
“Mungkin 6 tahun, kenapa?”
“Apa yang kamu rasain selama kita jauh?”
“Aku selalu kangen sama kamu. Selalu nangis waktu aku pengen ketemu tapi nggak bisa. Aku selalu pengen kayak orang-orang yang kemana-mana sama pacarnya. Aku pengen ada yang nganterin ke dokter tiap aku sakit. Apa yang kamu rasain selama itu?”
“Kayak kalo aku merem, gelap nggak ada kamu.”
Aku Cuma senyum denger ucapannya barusan.
“Sayang, apa semua udah siap?”
“Udah, sayang. Nanti siang temenin aku ke butik ya. Aku ada sesuatu yang pengen aku kasih liat ke kamu.”
“Iya, Oon!”


***


“Selamat datang Kak Nada.” Sapa seorang pegawai butik. Kubalas dengan senyuman.
“Saya mau bertemu dengan Sasha, ada?”
“Iya kak, tunggu sebentar.”
Setelah menunggu sekitar 5 menit, Sasha, pemilik butik ini, datang.
“Hai, Nad!”

Dia mencium pipi kanan dan kiriku kemudian memelukku erat. Dia mempersilahkan aku dan laki-laki di samping aku masuk.

“Sha, aku mau liat pesenanku.”
“Oke, tunggu sebentar, honey!” Katanya sambil berlalu pergi meninggalkan kami.
“Ta, kita mau ngapain kesini?”
“Sabar ya sayang, nanti juga kamu bakal tau.”
“Nad, sini sebentar!” Sasha memanggilku.
“Sayang, kamu tunggu sini bentar ya!”

Setelah kurang lebih 5 menit masuk ke dalam, aku ke luar dengan gaun kebaya putih penuh dengan bunga-bunga renda dan sedikit manik-manik, layer kain sutera dengan renda di luarnya menjuntai menutupi tungkai, berjalan perlahan dengan karangan bunga di tangan menghampiri Arian. Aku tertawa kecil melihat ekspresi di mukanya.

“Sayang, kamu kenapa?”
“Nn-nggak, Ta, kamu cantik banget.”
“Ini baju rancanganku sendiri. Aku udah mulai merancang baju ini dari dua tahun yang lalu. Aku selalu mbayangin bisa memakai baju ini dan memperlihatkannya ke kamu.”
“Kamu, kamu luar biasa sayang.”
“Udah ahh, mendingan sekarang kamu masuk. Aku juga udah nyiapin buat kamu.”
“Hah?”
“Udah sana masuk! Asisten Sasha udah nunggu kamu.”
“Iyaa.”

Kami berdiri di depan kaca besar, tersenyum, sungguh ini sangat membahagiakan.

“Kalian sangat serasi.” Kata seorang wanita muda dan cantik, Sasha.
Kami hanya membalasnya dengan senyuman, sekali lagi.

Tuhan, terima kasih
Matahari itu kini bagiku lilin,
Sinarnya yang sederhana, seadanya,
Menerangiku penuh keteduhan,
Aku bisa menjamahnya, merasakan kehangatannya

Sungguh bulan yang dulu selalu kita lihat di dua tempat berbeda
Kini bisa kita lihat di tempat yang sama, bersama-sama
Aku sangat menyayangi manusiamu ini, Tuhan
Terima kasih telah mengirimnya untukku,
Aku berjanji akan menjaganya...


“Ayo sayang, kita harus pulang, udah sore.”
“Iya, Oon, I Love You!”
Aku tersenyum lebar, malu, senang, dan dia ikut tersenyum.
Kami pun pulang setelah selesai beres-beres.


***


Matahari di ujung barat, sinarnya damai, berwarna emas, dan sangat jelas terlihat dari beranda rumahku di lantai dua. Selesai mandi aku duduk santai, menikmati sore dengan secangkir teh hangat. Baru saja dia beranjak pulang setelah kita makan bersama di rumah, jejak kakinya pun masih terdengar, aku udah kangen lagi sama dia.

Hpku bergetar, sepertinya ada sms. Aku buka dengan penuh keyakinan, itu pasti dia. Dan ternyata aku salah. Sms dari nomor yang tidak aku kenal itu, sepertinya aku familiar dengan tulisannya.

“Nad, aku mau ketemu kamu... (Adit).”
Aku kaget, sontak aku menjatuhkan handphoneku. Aku ambil lagi, kemudian aku diam.
“Adit? Ini udah 6 tahun sejak semuanya berakhir. Mau kamu apa dit?”
“Aku cuma pengen ketemu, Nad. Aku kangen sama kamu.”
“Dit, apa kamu gila? Aku nikah 3 hari lagi. Tolong jangan ganggu aku.”
Setelah beberapa lama akhinya dia membalas smsku.
“Nad, gimana bisa kamu nikah sama dia? Nad, aku nggak bisa, tolong.”

Aku mutusin buat nggak ngebales smsnya. Aku bingung, sangat bingung. Nggak tau harus gimana. Aku takut, aku takut dia bakal nglakuin sesuatu.


***


Hari ini aku berencana pergi ke pemakaman. Sembari menunggu Arian, aku duduk di beranda rumah, menikmati pagi, merasakan hembusan anginnya yang masih perawan. Sejuk, menyela sendi-sendi tulangku. Jarang sekali aku bisa sesantai ini. Kubuka koran harian, kubuka-buka, mungkin saja ada artis favoritku yang nampang di koran.

Ting tong...
Suara bel rumah terdengar dari atas, aku tak menghiraukannya. Aku masih saja asik dengan koran dan teh hangatku.

“Nadaa!” suara mamah terdengar membuyarkan konsentrasiku membaca berita.
“Ya, mah!” sahutku sambil berlari menghampiri mamah.

Jantungku berdetak lebih kencang dan semakin tak beraturan. Badanku lemas seolah tulangku telah melunak menjadi daging. Wajahku menjadi pucat. Seketika HP ditanganku terjatuh.

“Nad!” Sapa seorang laki-laki muda, tinggi sekitar 170 cm, wajah berkulit putih rambut ikal. Seseorang yang sangat aku kenal.
“Aa-a-adit.”
“Kamu masih seperti dulu, cantik.”
“Mau apa kamu kesini?”
“Bolehkah aku masuk?”
“Masuklah.” Kataku dengan nada lirih.
“Apa maksud kedatangan kamu kesini dit?”
“Aku cuma kangen kamu.”
“Dit, tolonglah. Apa sih yang kamu harepin? Sehari lagi aku menikah dengan seseorang yang sangat aku cintai. Jangan kamu hancurin semua ini dit.” Ujarku dengan nada sedikit kesal.

Kurang lebih 10 menit kami terlibat dalam pembicaraan yang cukup menegangkan, cukup menggangguku.

Ting tong...
Bel berbunyi. Hatiku semakin ga menentu. Kenapa ada hal kayak gini sih? Tanyaku dalam hati. Aku berjalan penuh keraguan menuju pintu, berharap bukan Arian yang datang.

“Ta, bukain pintu aja lama banget sih?”
“Arr-r-rian?”
“Kamu kenapa sayang?”

Aku hanya diam. Bingung dan nggak tau harus ngomong apa. Aku menangis penuh ketakutan. Di dalam ada seseorang yang selama bertahun-tahun seperti itu dan nggak pernah berubah. Selalu memaksa keadaan sesuai keinginannya. Aku benar-benar takut.

“Kk-kamu?”

Seseorang datang dari balik pintu membuat kaget laki-laki yang berada di depanku.

“Ta, kenapa orang ini ada disini?”
Aku cuma bisa diem dan terus menangis.
“Mau apa kamu ke sini?”
 Bentak Arian yang seolah heran dan tidak terima melihat kehadirannya.
“Pergi kamu sekarang juga!”
“Kalo aku nggak mau, kamu mau apa?”

Suara tangisku yang semula hanya air mata tanpa suara, kali ini terdengar. Air mataku semakin deras mengucur. Hatiku semakin kacau. Aku tak kuasa melihat semua ini di dua hari sebelum hari pernikahanku.

Mereka berdua bertengkar, dan Arian tak bisa mengendalikan amarahnya. Satu pukulan melayang ke pipi mulus Adit. Adit tidak terima dan membalas pukulan yang diterimanya. Setelah berlangsung untuk beberapa menit aku merasa tidak tahan dan akhirnya aku terjatuh pingsan.

“Ta!”

Arian menggendongku ke sofa. Setelah beberapa saat aku tersadar dan melihat mereka berada di sampingku, Arian terus menggenggam tanganku.

Aku diam beberapa saat, memandangi mereka satu persatu, Arian, Adit. Aku mulai berbicara, lemah, dengan sedikit tenaga yang tersisa.

“Dit, terima kasih untuk kadonya, kado yang nggak akan pernah aku lupain di dua hari menjelang hariku. Sungguh aku nggak akan pernah lupain ini. Apa lagi Dit yang akan kamu lakuin? Apa?” ucapku dengan suara rendah dan setengah menangis. Arian terus saja menggenggam tanganku. Wajahnya yang lebam, menambah kesakitanku.
 “Dit, aku mohon lupain aku. Lihat laki-laki yang ada di sampingmu!! Lihat Dit! Dia orang yang sangat aku cintai. Kamu telah menyakiti dia, dan berarti kamu telah menyakiti aku Dit, lebih dari yang dia rasain.”
“Besok aku menikah, impian dari semua wanita untuk merasakannya. Aku nggak pernah ngebayangin ada kejadian seperti ini menjelang hari bahagiaku. Semua ini menyakitkan.”

Adit tertunduk diam.
Satu kalimat terakhir yang dia ucapkan sebelum beranjak pergi meninggalkan kami.
“Maafin aku Nad!”

Aku masih terus menangis, Arian memelukku untuk menenangkanku. Sungguh ini drama yang menyakitkan yang tidak akan ada satu wanita pun ingin merasakannya di hari-hari menjelang hari bahagianya.
“Sayang, maafin aku.”
Ucap Arian, lirih. Aku masih ingin menangis.


***

Bismillahirrahmaannirrahiim, Astaghfirullahal’adzim, Astaghfirullahal’adzim, Astaghfirullahal’adzim, Asyhadualla illa ha illallah, Wa asyhadu anna muhammadarrosulullah… Ananda Bramantya Arian. Saya nikahkan dan saya kawinkan anak saya Nada Shabila kepada engkau, dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai…
Saya terima nikahnya dan kawinnya Nada Shabila Farhan binti Farhan dengan
mas kawin yang tersebut tunai…


Aku tersenyum namur air mataku menetes, haru. Aku melihat di ujung sana ada sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku, ada mamah, ayah, nenek, kakek, di ujung sana ada Adit, dia menatapku dan tersenyum, lengkap sudah semuanya. Ini adalah yang selama ini aku impikan. Pernikahan yang sempurna. Gaunku, semua detailnya, kesibukan seminggu belakangan ini, ucap janji yang mengharukan, dan semuanya. Kedatangan semua sahabatku, saudaraku, dan mantan kekasihku, doa dari mereka membuat semua ini semakin sempurna. Tuhan, apa ini mimpi?

Setelah ijab kabul di lakukan, kami bersimpuh di hadapan ayah dan ibu kami, secara bergantian, memohon maaf, memohon ijin, dan berterima kasih. Tangis tidak dapat terbendung dari mata kami. Kami semua, ayah, ibu, suamiku, hanyut dalam perasaan haru.

Diiringi dengan musik yang begitu indah, musik yang dia mainkan sendiri, dengan penuh keyakinan mulai melafalkan baris demi baris lirik lagunya. Terdengar indah, sangat indah. Aku mendengarnya melalui hatiku, dan semua pesan itu tersampaikan. Pesan yang berusaha dia sampaikan melalui lagu yang dibuatnya satu bulan lalu. Matanya berbinar penuh makna. Terus memandangiku sambil terus berbicara dengan lagunya. Aku menghampirinya dan ikut hanyut dalam lagu itu bersamanya. Kini tercipta sebuah simphoni, dua nyawa berpadu, gitar dan piano, lambang dari aku dan dia, sangat sempurna. Tepuk tangan dari sudut sana, pandangan kagum mereka akan kebahagiaan kami sungguh terasa. Aku sangat menikmatinya.

Lima menit berlalu, pembawa acara meminta kami duduk kembali. Bersandingan, seperti raja dan ratu. Aku kini tidak lagi iri dengan pernikahan pangeran William dan Kate karena aku kini memilikinya, di pernikahanku yang sederhana tapi bagiku ini lebih dari segalanya.

“Ta, terima kasih.”

Bisik Arian, lirih. Aku tersenyum, memandangnya dengan penuh kekaguman. Aku melihat ke sekeliling. Di saat pembawa acara sibuk dengan mikenya, mata kami sibuk berbicara satu sama lain. Bukankah semua ini sempurna, sayang? Tanyaku dalam hati.

Akhirnya dua lembar terakhir albumku, aku isi dengan foto-foto pernikahan kami. Fotoku sama dia, foto kami bersama keluarga, foto kami bersama sahabat, dan foto kami bersama Adit.


_The End_

0 komentar:

Posting Komentar