Selasa, 27 Maret 2012

The Perfect Wedding Part 3


“Itu foto aku yang aku kasih waktu pertama kali untuk sekian lama, kita bisa ketemu dan saling ngomong, walaupun akhirnya aku ngecewain kamu. Maafin aku ya sayang?” ucapku lirih.
“Iya, Ta. Itu kan udah lama banget, nggak usah diinget-inget lagi.”,”Ngomong-ngomong itu foto kenapa ada di kamu? Nyuri dari dompet aku pasti kamu?”
Aku cuma balas ucapannya dengan senyum kecil.
“Nadaa!”
“I-i-i-iya, Mah!”
Suara ibuku terdengar memanggil setengah berteriak.
“Jelek, aku ke mamah dulu ya?”
“Iya, Ta!”

Aku beranjak dari dudukku, malas rasanya untuk melangkah. Aku ninggalin Arian sendirian di ayunan dengan tetap memandangi foto-foto di albumku. Sepertinya dia sangat tertarik untuk mengetahui ide di otakku yang aku tuangin di album usang itu.

“Ta, disuruh ngapain sama mamah?”
Suaranya terdengar datang tiba-tiba, menghampiriku yang sedang begitu nyaman merebahkan diri di sofa. Menyodorkan sesuatu, yang nggak asing buat aku.
“Mamah Cuma nanya, apa semuanya udah fix.”
“Ohh. Ehmm, ini foto siapa? Kenapa ada di album ini?”
“Sayang, orang itu juga bagian dari hidup aku, bagian cerita hidup aku sampai akhirnya aku ada dititik ini, berdiri bersama kamu.”

***

“Naaaadd!”

Sepertinya ada yang manggil aku, tapi aku masih tetap duduk dengan buku pelajaran di tanganku dan headphone menyumbat telingaku. Aku terlalu asik dengan ini dan malas untuk menghiraukan suara tadi, yang terdengar samar.

“Naaaaadddd!”

Kali ini suara itu terdengar keras dan agak sedikit aneh. Ketika aku menengok sudah ada seorang gadis berdiri di belakang aku dengan wajah sedikit aneh. Sesuatu pasti telah terjadi.

“Nad, ini... itu nad... “
“Pelan-pelan, Ra. Kenapa? Ada sesuatu yang salah?”
Ara adalah teman sebangkuku di kelas 1 SMA. Dia yang selalu ndengerin aku. Dialah yang tahu smua cerita tentang aku.
“Arian.”

Ucapannya kali ini benar-benar membuatku kaget setengah setengah mati. Seperti petir yang menyambar disiang bolong. Tercengang aku melihat sahabatku yang satu ini. Menunggu penuh harap untuk cerita selanjutnya.

“Arian telpon aku, Nad. Telpon ke nomor kamu yang kamu kasihin ke aku.”
“Ra, please jangan bercanda. Nggak lucu tau!”
“Buat apa aku bercanda. Liat lah muka aku. Aku juga kaget Nad!”
 “Please, Ra! Kamu tahu kan? Aku udah mulai bisa menerima semuanya. Aku udah mulai nglupain dia. Kamu tahu kan? Buat sampai ke tahap ini sulit Ra. Adit udah mulai bisa bikin aku lupa semuannya. Jangan bikin aku nginget-inget dia lagi.”
“Demi Tuhan, Nad, aku nggak bohong.”

Aku terdiam. Seketika cerita masalalu itu muncul memenuhi fantasiku. Dulu aku mutusin dia setelah kita pacaran sebulan. Bukan apa-apa, aku begitu tersiksa dengan hubungan kami. Pertama kali pacaran harus udah LDR, aku nggak bisa. Mutusin dia adalah keputusan paling berat yang harus aku ambil, mengingat semua perjuangan aku. Selama bertahun-tahun aku mengharap dia, dan harus berakhir gitu aja setelah aku mendapatkannya baru sebulan sebelumnya. Kalung dari dia pun udah aku simpan rapat-rapat. Aku bahkan pernah berjanji untuk tidak mengambilnya lagi. Aku benar-benar ingin mengubur semuannya. Kembalinya dia seolah menguak lagi luka itu. Terlebih dia muncul saat aku telah menjadi milik orang lain. Napasku menjadi sesak. Entah apa yang harus aku rasakan. Senang, sedih, haru, bingung, aku benar-benar nggak tau harus bagaimana.

“Nad... “
“Aku nggak apa-apa, Ra. Dia ngomong apa?”
“Dia Cuma nanyain kabar kamu. Tadinya dia pikir aku itu kamu. Dia bilang mau telpon lagi ntar sepulang sekolah.”
“Ohh.”

Ucapku mngakhiri pembicaraan siang ini di depan ruang kelas. Sambil menghela napas panjang, aku berlalu meninggalkan dia sendiri, berdiri sambil terus menatapku dengan penuh kebingungan. Ara, kamu pasti tau yang aku rasain saat ini. Kataku dalam hati.

Sepulang sekolah...
“Nad, ini.”
Kata Ara sembari memberikan handphone-nya yang sepertinya telah terhubung dengan seseorang di sana, di tempat yang jauh.
“Nad,”
Seseorang berbicara lirih.
“Nada, ini Arian.” Tambahnya.
“I-i-ii-iya.”
“Lama nggak denger suara kamu. Kamu apa kabar?”
“Baik, kamu apa kabar?”
Sulit sekali untuk memanggil namanya.
“Aku juga baik. Aku boleh minta nomor kamu nggak?”
“I-i-ii-iiya, nanti aku sms-in,” “Udah dulu ya, aku mau pulang dulu.”
“Ohh, iya. Jangan lupa kirimin nomor kamu.”
“Iya. Aku tutup dulu. Bye!”

Aku duduk sebentar. Menghela napas, lagi, dan sekali lagi menghela napas lebih dalam. Ini sungguh seperti mimpi. Anganku terus melayang. Sambil terus meyakinkan diriku bahwa ini cuma mimpi, aku berjalan, beranjak pulang.

***

Waktu udah menunjukkan pukul 22:00, aku masih nggak bisa tidur. Tiba-tiba saja melodi pembuka lagu Tercipta Untukku punya Ungu terdengar, ternyata Hpku yang berbunyi. Di layar tertulis angka berjumlah 12, dan tidak ada namanya. Aku mulai mengangkat dengan nggak ada keraguan sedikit pun di benakku.

“Haloo!”
Suaranya, aku sangat familiar.
“Ar-r-rian.”
Untuk pertama kalinya aku menyebutkan namanya setelah sekian lama aku takut untuk mengucapkannya.
“Nad, lagi sibuk nggak nih?”
“Nggak kok.”
“Gimana Nad?”
“Gimana apanya?”
“Apa kamu udah punya cowok?”
Pertanyaan itu, entah kenapa membuatku merasa aneh. Aku udah punya tapi bibir ini nggak bisa ngomongnya.
“Nad, kenapa diem?”
“I-i-iiya, Yan.”
“Siapa? Pasti dia orang yang hebat?”
“Dia biasa aja kok. Namanya Adit.”
Kami terus mengobrol, walaupun aku masih merasa sangat canggung.
“Nad, apa kamu bahagia sama dia??”

Pertanyaan itu, entah kenapa begitu menyakitkan mendengarnya. Entah apa yang sebenarnya aku rasain. Tiba-tiba aja aku nangis denger dia tanya kayak gitu.

“Nad, kamu kenapa? Kamu nangis? Apa aku salah ngomong?”
“Nggak kok Yan. Kayaknya udah malem banget, aku mau tidur dulu ya, besok kan sekolah.”
“Yyaudah. Maaf ya Nad.”
“Iya. Assalamualaikum”

Aku tutup telponnya, dan air mata ini semakin deras menetes, membanjiri pipiku. Aku memang udah punya dia, Adit. Dia yang perlahan bisa bikin aku senyum waktu aku patah hati. Dia yang mulai bikin aku nglupain luka itu, dan menggeser nama kamu dibenakku, sampai akhirnya kamu dateng lagi. Yan, waktu kamu nanyain itu, aku pengen bilang, seandainya aja aku bisa bahagia sama kamu, bukan sama orang lain.
Semua ini bikin aku sadar kalo kamu, tetaplah kamu. Cuma kamu yang ada di hati aku dan nggak akan pernah bisa digantiin oleh siapa pun.
Beberapa bulan setelahnya aku kembali lagi sama Arian. Ara tau itu, dan dia mendukung aku. Aku senang, dan aku bakal ngejaga apa yang udah aku perjuangin dengan susah payah.


To be continued...

0 komentar:

Posting Komentar