Senin, 26 Maret 2012

The Perfect Wedding Part 1



 P


By: Dwi Siwi A.

ernikahan, hal yang menakjubkan bagiku. Impian bagi semua wanita untuk memiliki sebuah pernikahan yang sempurna. Karena aku adalah wanita, maka aku adalah salah satu diantaranya.

Dari kecil aku sudah sangat tertarik dengan pernikahan walaupun belum tahu makna dari pernikahan. Bermain pengantin-pengantinan dengan baju sederhana tapi dibuat sedemikian sehingga menyerupai baju pengantin yang indah, menjuntai, dengan karangan bunga di tangan, setidaknya itulah baju pengantin dibenakku saat itu. Saat aku beranjak dewasa, dengan pengetahuan yang cukup tentang sebuah pernikahan, maka yang ada dibenakku adalah janji yang diucapkan kedua pengantin untuk saling setia, itulah yang indahnya melebihi baju pengantin seindah dan semewah apapun di dunia ini. Aku menangis dalam hati, sebegitu bahagianya, melihat mempelai wanita yang tersenyum simpul disamping prianya, dan sang pria yang mengusap keringat diwajah wanitanya, sungguh aku nanti juga ingin berada diposisi itu. Saat kita ada disana, saat itulah kita menjadi wanita seutuhnya.

Mimpi itu masih terus berlanjut. Bermimpi untuk membuat sendiri baju pengantin yang akan kupakai, membuat lagu untuk resepsinya, merancang konsep ini, itu, mempersiapkan undangan dengan detailnya, sibuk sebelum hari H, dan lain-lain. Aku sangat ingin memilikinya, pernikahan yang sempurna.

***

Uap panas mengepul dari secangkir tehku pagi ini, begitu hangat, menemani aku duduk di ayunan depan rumah. Sebelumnya, aku menyempatkan diri mengambil sebuah album dari tumpukan-tumpukan buku yang tertata rapi di lemari depan. Album ini terlihat usang, warnanya pun sudah terlihat sedikit pudar. Aku buka lembar pertama, tidak ada fotonya tapi di sana tertulis, ‘The Perfect Wedding’. Album itu sebenarnya aku beli 5 tahun lalu ketika aku duduk di bangku kuliah semester 2. Tentang tulisan itu, sebenarnya aku bermaksud membuat sebuah cerita dalam foto-foto yang nanti akan terisi, bersama orang yang aku cinta yang aku berharap bisa sampai ke sebuah titik, pernikahan. Dia pacarku, cinta pertamaku, yang 3 hari lagi akan menjadi suamiku.

“Ta, itu apa?”
Suara seseorang yang sepertinya aku kenal mengagetkanku.
“Arian!”

Ya, dia Arian. Bramantya Arian, cowok dengan tinggi 171 cm, dan sangat mencintai musik. Dia mungkin bisa hidup tanpa aku, tapi tidak bisa tanpa musik, setidaknya itu menurut aku.

“Kenapa kaget gitu? Pagi-pagi jangan ngelamun sayang. Relaks lah, aku tau kamu sangat lelah akhir-akhir ini.”
“Nggak ko, aku cuma lagi ngliatin album aku.”
“Album apa itu? Kok aku nggak pernah tau?”
“Duduklah!”

Dia memang tau segalanya tentang aku, mengenal aku lebih dari aku mengenal diri aku sendiri. Katanya, aku, Nada Shabila Farhan adalah satu-satunya orang yang bisa mengubah hidupnya. Dia sangat mencintai aku, dan aku pun sebaliknya.

Aku mulai membuka halaman kedua. Orang disebelahku sangat terkejut begitu melihat foto itu.
“Ta, itu kann... ??”
“Iya sayang, itu foto kamu waktu SD, tepatnya kelas dua SD. Sepertinya foto itu di ambil saat kamu di pindahkan ke sini oleh orang tua kamu. Kamu pasti nakal banget di sana, makanya disuruh sekolah disini.” Kataku sambil mengusap-usap dan memandangi foto yang telah usang itu.
“Darimana kamu ngedapetin foto itu?”
“Nyuri dari rumah kamu waktu dulu aku main ke Bandung.”
Ucapku sembari tersenyum, malu. Pipiku memerah.
“Aku baru sadar kalo selama ini punya pacar pencuri.”
“Pencuri apa? Ini kan cuma sekedar foto? Jahat banget kamu!”
“Ngambil barang orang lain tanpa ijin apa namanya kalo bukan nyuri?”
“Iya maaf. Lagian cuma foto ini.”
“Siapa bilang? Sejak kita pacaran, nggak tau kenapa aku selalu ngrasa aneh. Aku ngrasa ada sesuatu yang hilang, dan itu pasti kamu yang nyuri.”
“Apa?”
“Sepertinya hati aku yang udah kamu curi.”

Sontak aku tertawa geli, bukan karena gombalannya yang terkesan aneh, tapi karena melihat ekspresi wajahnya saat berusaha menggombaliku. Bukan apa-apa, dia itu selalu bersikap sok cool di depan semua orang, walaupun bagiku dia selalu hangat.

“Kenapa ketawa?”
“Nggak apa-apa, Sayang.”,”Kamu lucu banget. Jelek, rambut kamu aja masih belah tengah gitu. Herannya kenapa dulu aku suka ya sama kamu??”
“Pasti karena aku ganteng lah, apa lagi?
“Udah dibilang dulu kamu jelek. Udah gitu kenapa juga dulu kamu aneh banget, ngga mau keluar dari rumah dan ngga mau ketemu aku seminggu gara-gara surat itu. Pasti kamu juga suka sama aku?”

Kita berdua tertawa sambil terus beradu mulut. Masa-masa seperti ini, ngobrol berdua, cerita-cerita dan ketawa bareng, yang selalu aku rindukan waktu dulu kita pernah saling terpisah. Longdistance selama bertahun-tahun, lebih tepatnya 6 tahun, seringkali membuat aku bosan. Bingung waktu semua rasa itu muncul. Rindu ingin bertemu, iri waktu melihat temen-temenku jalan sama pacarnya, aku sering merasakannya dan selalu bingung, apa yang harus aku lakuin?

“Dan gara-gara surat kayak gitu kita jadi bener-bener jauh. Sejak kejadian itu dan setelah kamu balik lagi ke Bandung di akhir kelas 2 SD, kita satu sama lain menjadi canggung, dan bahkan ngga pernah mau ngomong, di setiap lebaran kita ketemu. Kamu tau, sayang? Aku nggak pernah nglupain kamu. Setiap kamu pulang aku Cuma bisa ngliat kamu dari jauh. Seperti bunga matahari yang selalu melihat ke arah matahari tanpa bisa mendekatinya. Kayak ada sesuatu yang nahan aku buat nemuin kamu, padahal aku pengen banget bisa kenal lagi sama kamu.”

Kuminum tehku yang sudah mulai dingin. Laki-laki disampingku, laki-laki yang ada di foto itu terus saja memperhatikanku, mendengar ceritaku sambil terus memandangiku dengan tidak memalingkan wajahnya barang sekejap.

“Ta?”
“Smp kelas 2, untuk pertama kalinya kita berbicara berhadapan sejak peristiwa itu, di bawah purnama, saat gema takbir di Masjid berkumandang menjelang Hari Raya Idul Fitri esok harinya. Nggak banyak percakapan, sedikit namun sangat melegakan. Apa kamu inget itu semua, sayang?” Jelasku sambil melihat dan lagi, mengusap foto-foto itu.
“Nggak akan pernah lupa, ta!” ucapnya sambil tersenyum. Sangat manis, senyuman yang selalu aku rindukan.
“Kenapa kamu diem terus, onta?”
“Nggak apa-apa, aku cuma pengen denger kamu cerita.”
“Biasanya juga cerewetan kamu kalo lagi marah-marah.” Kataku sambil meledek, dan dia balas dengan ketawa kecil.
Kami terus ngobrol, menghabiskan teh, menambahnya lagi, dan lagi.
‘Tita’ adalah panggilan sayangnya ke aku. Aku sangat menyukainya. Walaupun terkesan seperti anak kecil pake panggilan sayang segala, apa pun itu, aku suka.
“Ta, kamu beda banget.”
“Beda apanya?”
“Ya beda, beda banget sama waktu dulu kamu kecil. Dulu tuh ya, kamu, rambutnya keriting, jelek, kalo main nggak pernah pake baju.” Ucapnya sambil tertawa, aku pun ikut tertawa.
“Biarin si, namanya juga anak kecil”, “Inget nggak kamu pernah nyuri layang-layang dari toko deket sekolah terus kamu bagiin kesemua temen-temen kamu?” Tambahku nggak mau kalah. Sontak kami berdua tertawa.

Membahas masa kecil selalu membuat kita tertawa geli. Banyak hal-hal bodoh dulu sering kita lakukan. Mulai dari nyuri layang-layang, mandi di kali, nyuri jeruk tetangga, main pengantin-pengantinan, dan banyak lagi. Oiya, aku inget banget dulu dia akrab sama ayah, sering ke rumah buat nemuin ayah, dan seringnya kalo dia main kesini pasti ayah lagi ndengerin lagu-lagu sunda. Ayah suka banget lagu-lagu sunda. Beda banget sama tiga tahun belakangan yang ayah kurang setuju sama hubungan kami. Sangat melelahkan tapi semua terselesaikan.
“Ta, ini foto kan... ?”

To be continued...

0 komentar:

Posting Komentar