...
“Sayang, apa kamu masih punya
perasaan sama dia?”
“Udahlah jelek, itu kan
masalalu. Kamu sendiri yang minta aku buat cerita. Aku nggak mau ini ngrusak
moment bahagia kita sebentar lagi.”
“Iyaa. Ta, aku pengen denger
kamu cerita lagi.”
Dia berkata sambil tersenyum.
Aku selalu nurutin apa mau dia.
“Ambil albumnya sana!”
Dia beranjak mengambil album
itu, aku berbaring menunggunya di sofa.
“Ta, apa kamu lelah?”
“Iya, tapi nggak apa-apa kok.
Aku capek tapi seneng. Aku udah nggak sabar.”
“Sama, Ta. Ayo cerita lagi!”
“Jelek, liat foto ini. Ini
foto-foto waktu aku main ke tempat kamu di Jakarta. Sampai akhirnya mamah tahu
dan aku dimarahin.”
“Kamu bandel sih, makannya
bilang dulu kalo mau kemana-mana tuh.”
Dia selalu begitu, marahin
aku, dia selalu berusaha buat ngejaga aku, seperti kakak aku, walaupun
kenyataannya umurku setahun lebih tua darinya. Itu yang bikin aku selalu ngrasa
deket walaupun jarak misahin kita begitu jauh.
“Aku nglakuin ini kan buat
kamu, sayang! Nggak ngerti dasar!”
“Iya-iya. Udah jangan
cemberut gitu. Jelek tau!”,”Ta, kenapa dua lembar foto di halaman paling
belakang ini kosong?”
“Nanti bakal kita isi dengan
foto pernikahan kita.” Jawabku sembari mengerlingkan mata kananku, genit. Dia cuma
senyum.
“Ta, udah berapa lama kita
pacaran jarak jauh?”
“Mungkin 6 tahun, kenapa?”
“Apa yang kamu rasain selama
kita jauh?”
“Aku selalu kangen sama kamu.
Selalu nangis waktu aku pengen ketemu tapi nggak bisa. Aku selalu pengen kayak
orang-orang yang kemana-mana sama pacarnya. Aku pengen ada yang nganterin ke
dokter tiap aku sakit. Apa yang kamu rasain selama itu?”
“Kayak kalo aku merem, gelap
nggak ada kamu.”
Aku Cuma senyum denger
ucapannya barusan.
“Sayang, apa semua udah
siap?”
“Udah, sayang. Nanti siang
temenin aku ke butik ya. Aku ada sesuatu yang pengen aku kasih liat ke kamu.”
“Iya, Oon!”
***
“Selamat datang Kak Nada.”
Sapa seorang pegawai butik. Kubalas dengan senyuman.
“Saya mau bertemu dengan
Sasha, ada?”
“Iya kak, tunggu sebentar.”
Setelah menunggu sekitar 5
menit, Sasha, pemilik butik ini, datang.
“Hai, Nad!”
Dia mencium pipi kanan dan
kiriku kemudian memelukku erat. Dia mempersilahkan aku dan laki-laki di samping
aku masuk.
“Sha, aku mau liat
pesenanku.”
“Oke, tunggu sebentar,
honey!” Katanya sambil berlalu pergi meninggalkan kami.
“Ta, kita mau ngapain
kesini?”
“Sabar ya sayang, nanti juga
kamu bakal tau.”
“Nad, sini sebentar!” Sasha
memanggilku.
“Sayang, kamu tunggu sini
bentar ya!”
Setelah kurang lebih 5 menit
masuk ke dalam, aku ke luar dengan gaun kebaya putih penuh dengan bunga-bunga
renda dan sedikit manik-manik, layer kain sutera dengan renda di luarnya
menjuntai menutupi tungkai, berjalan perlahan dengan karangan bunga di tangan
menghampiri Arian. Aku tertawa kecil melihat ekspresi di mukanya.
“Sayang, kamu kenapa?”
“Nn-nggak, Ta, kamu cantik
banget.”
“Ini baju rancanganku
sendiri. Aku udah mulai merancang baju ini dari dua tahun yang lalu. Aku selalu
mbayangin bisa memakai baju ini dan memperlihatkannya ke kamu.”
“Kamu, kamu luar biasa
sayang.”
“Udah ahh, mendingan sekarang
kamu masuk. Aku juga udah nyiapin buat kamu.”
“Hah?”
“Udah sana masuk! Asisten
Sasha udah nunggu kamu.”
“Iyaa.”
Kami berdiri di depan kaca
besar, tersenyum, sungguh ini sangat membahagiakan.
“Kalian sangat serasi.” Kata
seorang wanita muda dan cantik, Sasha.
Kami hanya membalasnya dengan
senyuman, sekali lagi.
Tuhan, terima kasih
Matahari itu kini bagiku
lilin,
Sinarnya yang sederhana,
seadanya,
Menerangiku penuh keteduhan,
Aku bisa menjamahnya,
merasakan kehangatannya
Sungguh bulan yang dulu
selalu kita lihat di dua tempat berbeda
Kini bisa kita lihat di
tempat yang sama, bersama-sama
Aku sangat menyayangi
manusiamu ini, Tuhan
Terima kasih telah
mengirimnya untukku,
Aku berjanji akan
menjaganya...
“Ayo sayang, kita harus
pulang, udah sore.”
“Iya, Oon, I Love You!”
Aku tersenyum lebar, malu,
senang, dan dia ikut tersenyum.
Kami pun pulang setelah
selesai beres-beres.
***
Matahari di ujung barat,
sinarnya damai, berwarna emas, dan sangat jelas terlihat dari beranda rumahku
di lantai dua. Selesai mandi aku duduk santai, menikmati sore dengan secangkir
teh hangat. Baru saja dia beranjak pulang setelah kita makan bersama di rumah,
jejak kakinya pun masih terdengar, aku udah kangen lagi sama dia.
Hpku bergetar, sepertinya ada
sms. Aku buka dengan penuh keyakinan, itu pasti dia. Dan ternyata aku salah.
Sms dari nomor yang tidak aku kenal itu, sepertinya aku familiar dengan
tulisannya.
“Nad, aku mau ketemu kamu... (Adit).”
Aku kaget, sontak aku
menjatuhkan handphoneku. Aku ambil lagi, kemudian aku diam.
“Adit? Ini udah 6 tahun sejak semuanya berakhir. Mau kamu apa
dit?”
“Aku cuma pengen ketemu, Nad. Aku kangen sama kamu.”
“Dit, apa kamu gila? Aku nikah 3 hari lagi. Tolong jangan
ganggu aku.”
Setelah beberapa lama akhinya
dia membalas smsku.
“Nad, gimana bisa kamu nikah
sama dia? Nad, aku nggak bisa, tolong.”
Aku mutusin buat nggak
ngebales smsnya. Aku bingung, sangat bingung. Nggak tau harus gimana. Aku
takut, aku takut dia bakal nglakuin sesuatu.
***
Hari ini aku berencana pergi
ke pemakaman. Sembari menunggu Arian, aku duduk di beranda rumah, menikmati
pagi, merasakan hembusan anginnya yang masih perawan. Sejuk, menyela
sendi-sendi tulangku. Jarang sekali aku bisa sesantai ini. Kubuka koran harian,
kubuka-buka, mungkin saja ada artis favoritku yang nampang di koran.
Ting tong...
Suara bel rumah terdengar
dari atas, aku tak menghiraukannya. Aku masih saja asik dengan koran dan teh
hangatku.
“Nadaa!” suara mamah
terdengar membuyarkan konsentrasiku membaca berita.
“Ya, mah!” sahutku sambil
berlari menghampiri mamah.
Jantungku berdetak lebih
kencang dan semakin tak beraturan. Badanku lemas seolah tulangku telah melunak
menjadi daging. Wajahku menjadi pucat. Seketika HP ditanganku terjatuh.
“Nad!” Sapa seorang laki-laki
muda, tinggi sekitar 170 cm, wajah berkulit putih rambut ikal. Seseorang yang
sangat aku kenal.
“Aa-a-adit.”
“Kamu masih seperti dulu,
cantik.”
“Mau apa kamu kesini?”
“Bolehkah aku masuk?”
“Masuklah.” Kataku dengan
nada lirih.
“Apa maksud kedatangan kamu
kesini dit?”
“Aku cuma kangen kamu.”
“Dit, tolonglah. Apa sih yang
kamu harepin? Sehari lagi aku menikah dengan seseorang yang sangat aku cintai.
Jangan kamu hancurin semua ini dit.” Ujarku dengan nada sedikit kesal.
Kurang lebih 10 menit kami
terlibat dalam pembicaraan yang cukup menegangkan, cukup menggangguku.
Ting tong...
Bel berbunyi. Hatiku semakin
ga menentu. Kenapa ada hal kayak gini sih? Tanyaku dalam hati. Aku berjalan
penuh keraguan menuju pintu, berharap bukan Arian yang datang.
“Ta, bukain pintu aja lama
banget sih?”
“Arr-r-rian?”
“Kamu kenapa sayang?”
Aku hanya diam. Bingung dan
nggak tau harus ngomong apa. Aku menangis penuh ketakutan. Di dalam ada
seseorang yang selama bertahun-tahun seperti itu dan nggak pernah berubah.
Selalu memaksa keadaan sesuai keinginannya. Aku benar-benar takut.
“Kk-kamu?”
Seseorang datang dari balik
pintu membuat kaget laki-laki yang berada di depanku.
“Ta, kenapa orang ini ada
disini?”
Aku cuma bisa diem dan terus
menangis.
“Mau apa kamu ke sini?”
Bentak Arian yang seolah
heran dan tidak terima melihat kehadirannya.
“Pergi kamu sekarang juga!”
“Kalo aku nggak mau, kamu mau
apa?”
Suara tangisku yang semula
hanya air mata tanpa suara, kali ini terdengar. Air mataku semakin deras
mengucur. Hatiku semakin kacau. Aku tak kuasa melihat semua ini di dua hari
sebelum hari pernikahanku.
Mereka berdua bertengkar, dan
Arian tak bisa mengendalikan amarahnya. Satu pukulan melayang ke pipi mulus
Adit. Adit tidak terima dan membalas pukulan yang diterimanya. Setelah
berlangsung untuk beberapa menit aku merasa tidak tahan dan akhirnya aku
terjatuh pingsan.
“Ta!”
Arian menggendongku ke sofa.
Setelah beberapa saat aku tersadar dan melihat mereka berada di sampingku, Arian
terus menggenggam tanganku.
Aku diam beberapa saat,
memandangi mereka satu persatu, Arian, Adit. Aku mulai berbicara, lemah, dengan
sedikit tenaga yang tersisa.
“Dit, terima kasih untuk
kadonya, kado yang nggak akan pernah aku lupain di dua hari menjelang hariku.
Sungguh aku nggak akan pernah lupain ini. Apa lagi Dit yang akan kamu lakuin?
Apa?” ucapku dengan suara rendah dan setengah menangis. Arian terus saja
menggenggam tanganku. Wajahnya yang lebam, menambah kesakitanku.
“Dit, aku mohon lupain aku.
Lihat laki-laki yang ada di sampingmu!! Lihat Dit! Dia orang yang sangat aku
cintai. Kamu telah menyakiti dia, dan berarti kamu telah menyakiti aku Dit,
lebih dari yang dia rasain.”
“Besok aku menikah, impian
dari semua wanita untuk merasakannya. Aku nggak pernah ngebayangin ada kejadian
seperti ini menjelang hari bahagiaku. Semua ini menyakitkan.”
Adit tertunduk diam.
Satu kalimat terakhir yang
dia ucapkan sebelum beranjak pergi meninggalkan kami.
“Maafin aku Nad!”
Aku masih terus menangis, Arian
memelukku untuk menenangkanku. Sungguh ini drama yang menyakitkan yang tidak
akan ada satu wanita pun ingin merasakannya di hari-hari menjelang hari
bahagianya.
“Sayang, maafin aku.”
Ucap Arian, lirih. Aku masih
ingin menangis.
***
Bismillahirrahmaannirrahiim,
Astaghfirullahal’adzim, Astaghfirullahal’adzim, Astaghfirullahal’adzim,
Asyhadualla illa ha illallah, Wa asyhadu anna muhammadarrosulullah… Ananda Bramantya
Arian. Saya nikahkan dan saya kawinkan anak saya Nada Shabila kepada engkau,
dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai…
Saya terima nikahnya dan kawinnya Nada Shabila Farhan binti
Farhan dengan
mas kawin yang tersebut tunai…
mas kawin yang tersebut tunai…
Aku tersenyum namur air
mataku menetes, haru. Aku melihat di ujung sana ada sahabat-sahabatku,
saudara-saudaraku, ada mamah, ayah, nenek, kakek, di ujung sana ada Adit, dia
menatapku dan tersenyum, lengkap sudah semuanya. Ini adalah yang selama ini aku
impikan. Pernikahan yang sempurna. Gaunku, semua detailnya, kesibukan seminggu
belakangan ini, ucap janji yang mengharukan, dan semuanya. Kedatangan semua
sahabatku, saudaraku, dan mantan kekasihku, doa dari mereka membuat semua ini
semakin sempurna. Tuhan, apa ini mimpi?
Setelah ijab kabul di
lakukan, kami bersimpuh di hadapan ayah dan ibu kami, secara bergantian,
memohon maaf, memohon ijin, dan berterima kasih. Tangis tidak dapat terbendung
dari mata kami. Kami semua, ayah, ibu, suamiku, hanyut dalam perasaan haru.
Diiringi dengan musik yang
begitu indah, musik yang dia mainkan sendiri, dengan penuh keyakinan mulai
melafalkan baris demi baris lirik lagunya. Terdengar indah, sangat indah. Aku
mendengarnya melalui hatiku, dan semua pesan itu tersampaikan. Pesan yang
berusaha dia sampaikan melalui lagu yang dibuatnya satu bulan lalu. Matanya
berbinar penuh makna. Terus memandangiku sambil terus berbicara dengan lagunya.
Aku menghampirinya dan ikut hanyut dalam lagu itu bersamanya. Kini tercipta
sebuah simphoni, dua nyawa berpadu, gitar dan piano, lambang dari aku dan dia,
sangat sempurna. Tepuk tangan dari sudut sana, pandangan kagum mereka akan
kebahagiaan kami sungguh terasa. Aku sangat menikmatinya.
Lima menit berlalu, pembawa
acara meminta kami duduk kembali. Bersandingan, seperti raja dan ratu. Aku kini
tidak lagi iri dengan pernikahan pangeran William dan Kate karena aku kini
memilikinya, di pernikahanku yang sederhana tapi bagiku ini lebih dari segalanya.
“Ta, terima kasih.”
Bisik Arian, lirih. Aku
tersenyum, memandangnya dengan penuh kekaguman. Aku melihat ke sekeliling. Di
saat pembawa acara sibuk dengan mikenya, mata kami sibuk berbicara satu sama
lain. Bukankah semua ini sempurna, sayang? Tanyaku dalam hati.
Akhirnya dua lembar terakhir
albumku, aku isi dengan foto-foto pernikahan kami. Fotoku sama dia, foto kami
bersama keluarga, foto kami bersama sahabat, dan foto kami bersama Adit.
_The End_
0 komentar:
Posting Komentar