P
|
By: Dwi Siwi A.
ernikahan, hal yang menakjubkan bagiku. Impian bagi semua wanita untuk memiliki sebuah pernikahan yang sempurna. Karena aku adalah wanita, maka aku adalah salah satu diantaranya.
Dari kecil aku sudah sangat
tertarik dengan pernikahan walaupun belum tahu makna dari pernikahan. Bermain
pengantin-pengantinan dengan baju sederhana tapi dibuat sedemikian sehingga
menyerupai baju pengantin yang indah, menjuntai, dengan karangan bunga di
tangan, setidaknya itulah baju pengantin dibenakku saat itu. Saat aku beranjak
dewasa, dengan pengetahuan yang cukup tentang sebuah pernikahan, maka yang ada
dibenakku adalah janji yang diucapkan kedua pengantin untuk saling setia,
itulah yang indahnya melebihi baju pengantin seindah dan semewah apapun di
dunia ini. Aku menangis dalam hati, sebegitu bahagianya, melihat mempelai
wanita yang tersenyum simpul disamping prianya, dan sang pria yang mengusap
keringat diwajah wanitanya, sungguh aku nanti juga ingin berada diposisi itu.
Saat kita ada disana, saat itulah kita menjadi wanita seutuhnya.
Mimpi itu masih terus berlanjut.
Bermimpi untuk membuat sendiri baju pengantin yang akan kupakai, membuat lagu
untuk resepsinya, merancang konsep ini, itu, mempersiapkan undangan dengan
detailnya, sibuk sebelum hari H, dan lain-lain. Aku sangat ingin memilikinya,
pernikahan yang sempurna.
***
Uap panas mengepul dari
secangkir tehku pagi ini, begitu hangat, menemani aku duduk di ayunan depan
rumah. Sebelumnya, aku menyempatkan diri mengambil sebuah album dari
tumpukan-tumpukan buku yang tertata rapi di lemari depan. Album ini terlihat
usang, warnanya pun sudah terlihat sedikit pudar. Aku buka lembar pertama,
tidak ada fotonya tapi di sana tertulis, ‘The Perfect Wedding’. Album itu
sebenarnya aku beli 5 tahun lalu ketika aku duduk di bangku kuliah semester 2. Tentang
tulisan itu, sebenarnya aku bermaksud membuat sebuah cerita dalam foto-foto
yang nanti akan terisi, bersama orang yang aku cinta yang aku berharap bisa
sampai ke sebuah titik, pernikahan. Dia pacarku, cinta pertamaku, yang 3 hari
lagi akan menjadi suamiku.
“Ta, itu apa?”
Suara seseorang yang
sepertinya aku kenal mengagetkanku.
“Arian!”
Ya, dia Arian. Bramantya
Arian, cowok dengan tinggi 171 cm, dan sangat mencintai musik. Dia mungkin bisa
hidup tanpa aku, tapi tidak bisa tanpa musik, setidaknya itu menurut aku.
“Kenapa kaget gitu? Pagi-pagi
jangan ngelamun sayang. Relaks lah, aku tau kamu sangat lelah akhir-akhir ini.”
“Nggak ko, aku cuma lagi
ngliatin album aku.”
“Album apa itu? Kok aku nggak
pernah tau?”
“Duduklah!”
Dia memang tau segalanya
tentang aku, mengenal aku lebih dari aku mengenal diri aku sendiri. Katanya,
aku, Nada Shabila Farhan adalah satu-satunya orang yang bisa mengubah hidupnya.
Dia sangat mencintai aku, dan aku pun sebaliknya.
Aku mulai membuka halaman
kedua. Orang disebelahku sangat terkejut begitu melihat foto itu.
“Ta, itu kann... ??”
“Iya sayang, itu foto kamu
waktu SD, tepatnya kelas dua SD. Sepertinya foto itu di ambil saat kamu di
pindahkan ke sini oleh orang tua kamu. Kamu pasti nakal banget di sana, makanya
disuruh sekolah disini.” Kataku sambil mengusap-usap dan memandangi foto yang
telah usang itu.
“Darimana kamu ngedapetin
foto itu?”
“Nyuri dari rumah kamu waktu
dulu aku main ke Bandung.”
Ucapku sembari tersenyum,
malu. Pipiku memerah.
“Aku baru sadar kalo selama
ini punya pacar pencuri.”
“Pencuri apa? Ini kan cuma
sekedar foto? Jahat banget kamu!”
“Ngambil barang orang lain
tanpa ijin apa namanya kalo bukan nyuri?”
“Iya maaf. Lagian cuma foto
ini.”
“Siapa bilang? Sejak kita
pacaran, nggak tau kenapa aku selalu ngrasa aneh. Aku ngrasa ada sesuatu yang
hilang, dan itu pasti kamu yang nyuri.”
“Apa?”
“Sepertinya hati aku yang
udah kamu curi.”
Sontak aku tertawa geli,
bukan karena gombalannya yang terkesan aneh, tapi karena melihat ekspresi
wajahnya saat berusaha menggombaliku. Bukan apa-apa, dia itu selalu bersikap
sok cool di depan semua orang, walaupun bagiku dia selalu hangat.
“Kenapa ketawa?”
“Nggak apa-apa, Sayang.”,”Kamu
lucu banget. Jelek, rambut kamu aja masih belah tengah gitu. Herannya kenapa
dulu aku suka ya sama kamu??”
“Pasti karena aku ganteng
lah, apa lagi?
“Udah dibilang dulu kamu
jelek. Udah gitu kenapa juga dulu kamu aneh banget, ngga mau keluar dari rumah
dan ngga mau ketemu aku seminggu gara-gara surat itu. Pasti kamu juga suka sama
aku?”
Kita berdua tertawa sambil
terus beradu mulut. Masa-masa seperti ini, ngobrol berdua, cerita-cerita dan ketawa
bareng, yang selalu aku rindukan waktu dulu kita pernah saling terpisah.
Longdistance selama bertahun-tahun, lebih tepatnya 6 tahun, seringkali membuat
aku bosan. Bingung waktu semua rasa itu muncul. Rindu ingin bertemu, iri waktu melihat
temen-temenku jalan sama pacarnya, aku sering merasakannya dan selalu bingung,
apa yang harus aku lakuin?
“Dan gara-gara surat kayak
gitu kita jadi bener-bener jauh. Sejak kejadian itu dan setelah kamu balik lagi
ke Bandung di akhir kelas 2 SD, kita satu sama lain menjadi canggung, dan
bahkan ngga pernah mau ngomong, di setiap lebaran kita ketemu. Kamu tau,
sayang? Aku nggak pernah nglupain kamu. Setiap kamu pulang aku Cuma bisa ngliat
kamu dari jauh. Seperti bunga matahari yang selalu melihat ke arah matahari
tanpa bisa mendekatinya. Kayak ada sesuatu yang nahan aku buat nemuin kamu,
padahal aku pengen banget bisa kenal lagi sama kamu.”
Kuminum tehku yang sudah
mulai dingin. Laki-laki disampingku, laki-laki yang ada di foto itu terus saja
memperhatikanku, mendengar ceritaku sambil terus memandangiku dengan tidak
memalingkan wajahnya barang sekejap.
“Ta?”
“Smp kelas 2, untuk pertama
kalinya kita berbicara berhadapan sejak peristiwa itu, di bawah purnama, saat
gema takbir di Masjid berkumandang menjelang Hari Raya Idul Fitri esok harinya.
Nggak banyak percakapan, sedikit namun sangat melegakan. Apa kamu inget itu
semua, sayang?” Jelasku sambil melihat dan lagi, mengusap foto-foto itu.
“Nggak akan pernah lupa, ta!”
ucapnya sambil tersenyum. Sangat manis, senyuman yang selalu aku rindukan.
“Kenapa kamu diem terus,
onta?”
“Nggak apa-apa, aku cuma
pengen denger kamu cerita.”
“Biasanya juga cerewetan kamu
kalo lagi marah-marah.” Kataku sambil meledek, dan dia balas dengan ketawa
kecil.
Kami terus ngobrol,
menghabiskan teh, menambahnya lagi, dan lagi.
‘Tita’ adalah panggilan
sayangnya ke aku. Aku sangat menyukainya. Walaupun terkesan seperti anak kecil
pake panggilan sayang segala, apa pun itu, aku suka.
“Ta, kamu beda banget.”
“Beda apanya?”
“Ya beda, beda banget sama
waktu dulu kamu kecil. Dulu tuh ya, kamu, rambutnya keriting, jelek, kalo main
nggak pernah pake baju.” Ucapnya sambil tertawa, aku pun ikut tertawa.
“Biarin si, namanya juga anak
kecil”, “Inget nggak kamu pernah nyuri layang-layang dari toko deket sekolah
terus kamu bagiin kesemua temen-temen kamu?” Tambahku nggak mau kalah. Sontak
kami berdua tertawa.
Membahas masa kecil selalu membuat
kita tertawa geli. Banyak hal-hal bodoh dulu sering kita lakukan. Mulai dari
nyuri layang-layang, mandi di kali, nyuri jeruk tetangga, main
pengantin-pengantinan, dan banyak lagi. Oiya, aku inget banget dulu dia akrab
sama ayah, sering ke rumah buat nemuin ayah, dan seringnya kalo dia main kesini
pasti ayah lagi ndengerin lagu-lagu sunda. Ayah suka banget lagu-lagu sunda.
Beda banget sama tiga tahun belakangan yang ayah kurang setuju sama hubungan
kami. Sangat melelahkan tapi semua terselesaikan.
“Ta, ini foto kan... ?”
To be continued...
0 komentar:
Posting Komentar