Jumat, 30 Maret 2012

Since I've been...

Not a thing but everything
Let me find this world, look it deep
As a rock as a rainbow
So which? Or let it’s raining?
Yeah, it’s quite dept
You put on the sign but dropped the shadow
There I can see
It’s 17th, since you’ve been mine
Since you’ll always be
Since I’d minded
Since I always be
Yeah, It such a rainbow
Lets don’t make it ends





see also:
Rian 



Hera


Half-light evening, it’s quite difficult to see but the light is still shining, could you?
Even if that’s moonlight, it isn’t too difficult, but could you?
Rainy evening, it’s such more than the last
And even if there’s no light at all, then you could see by your heart. You’re good,

Selasa, 27 Maret 2012

The Perfect Wedding Part 4


...

“Sayang, apa kamu masih punya perasaan sama dia?”
“Udahlah jelek, itu kan masalalu. Kamu sendiri yang minta aku buat cerita. Aku nggak mau ini ngrusak moment bahagia kita sebentar lagi.”
“Iyaa. Ta, aku pengen denger kamu cerita lagi.”
Dia berkata sambil tersenyum. Aku selalu nurutin apa mau dia.
“Ambil albumnya sana!”
Dia beranjak mengambil album itu, aku berbaring menunggunya di sofa.
“Ta, apa kamu lelah?”
“Iya, tapi nggak apa-apa kok. Aku capek tapi seneng. Aku udah nggak sabar.”
“Sama, Ta. Ayo cerita lagi!”
“Jelek, liat foto ini. Ini foto-foto waktu aku main ke tempat kamu di Jakarta. Sampai akhirnya mamah tahu dan aku dimarahin.”
“Kamu bandel sih, makannya bilang dulu kalo mau kemana-mana tuh.”

Dia selalu begitu, marahin aku, dia selalu berusaha buat ngejaga aku, seperti kakak aku, walaupun kenyataannya umurku setahun lebih tua darinya. Itu yang bikin aku selalu ngrasa deket walaupun jarak misahin kita begitu jauh.

“Aku nglakuin ini kan buat kamu, sayang! Nggak ngerti dasar!”
“Iya-iya. Udah jangan cemberut gitu. Jelek tau!”,”Ta, kenapa dua lembar foto di halaman paling belakang ini kosong?”
“Nanti bakal kita isi dengan foto pernikahan kita.” Jawabku sembari mengerlingkan mata kananku, genit. Dia cuma senyum.
“Ta, udah berapa lama kita pacaran jarak jauh?”
“Mungkin 6 tahun, kenapa?”
“Apa yang kamu rasain selama kita jauh?”
“Aku selalu kangen sama kamu. Selalu nangis waktu aku pengen ketemu tapi nggak bisa. Aku selalu pengen kayak orang-orang yang kemana-mana sama pacarnya. Aku pengen ada yang nganterin ke dokter tiap aku sakit. Apa yang kamu rasain selama itu?”
“Kayak kalo aku merem, gelap nggak ada kamu.”
Aku Cuma senyum denger ucapannya barusan.
“Sayang, apa semua udah siap?”
“Udah, sayang. Nanti siang temenin aku ke butik ya. Aku ada sesuatu yang pengen aku kasih liat ke kamu.”
“Iya, Oon!”


***


“Selamat datang Kak Nada.” Sapa seorang pegawai butik. Kubalas dengan senyuman.
“Saya mau bertemu dengan Sasha, ada?”
“Iya kak, tunggu sebentar.”
Setelah menunggu sekitar 5 menit, Sasha, pemilik butik ini, datang.
“Hai, Nad!”

Dia mencium pipi kanan dan kiriku kemudian memelukku erat. Dia mempersilahkan aku dan laki-laki di samping aku masuk.

“Sha, aku mau liat pesenanku.”
“Oke, tunggu sebentar, honey!” Katanya sambil berlalu pergi meninggalkan kami.
“Ta, kita mau ngapain kesini?”
“Sabar ya sayang, nanti juga kamu bakal tau.”
“Nad, sini sebentar!” Sasha memanggilku.
“Sayang, kamu tunggu sini bentar ya!”

Setelah kurang lebih 5 menit masuk ke dalam, aku ke luar dengan gaun kebaya putih penuh dengan bunga-bunga renda dan sedikit manik-manik, layer kain sutera dengan renda di luarnya menjuntai menutupi tungkai, berjalan perlahan dengan karangan bunga di tangan menghampiri Arian. Aku tertawa kecil melihat ekspresi di mukanya.

“Sayang, kamu kenapa?”
“Nn-nggak, Ta, kamu cantik banget.”
“Ini baju rancanganku sendiri. Aku udah mulai merancang baju ini dari dua tahun yang lalu. Aku selalu mbayangin bisa memakai baju ini dan memperlihatkannya ke kamu.”
“Kamu, kamu luar biasa sayang.”
“Udah ahh, mendingan sekarang kamu masuk. Aku juga udah nyiapin buat kamu.”
“Hah?”
“Udah sana masuk! Asisten Sasha udah nunggu kamu.”
“Iyaa.”

Kami berdiri di depan kaca besar, tersenyum, sungguh ini sangat membahagiakan.

“Kalian sangat serasi.” Kata seorang wanita muda dan cantik, Sasha.
Kami hanya membalasnya dengan senyuman, sekali lagi.

Tuhan, terima kasih
Matahari itu kini bagiku lilin,
Sinarnya yang sederhana, seadanya,
Menerangiku penuh keteduhan,
Aku bisa menjamahnya, merasakan kehangatannya

Sungguh bulan yang dulu selalu kita lihat di dua tempat berbeda
Kini bisa kita lihat di tempat yang sama, bersama-sama
Aku sangat menyayangi manusiamu ini, Tuhan
Terima kasih telah mengirimnya untukku,
Aku berjanji akan menjaganya...


“Ayo sayang, kita harus pulang, udah sore.”
“Iya, Oon, I Love You!”
Aku tersenyum lebar, malu, senang, dan dia ikut tersenyum.
Kami pun pulang setelah selesai beres-beres.


***


Matahari di ujung barat, sinarnya damai, berwarna emas, dan sangat jelas terlihat dari beranda rumahku di lantai dua. Selesai mandi aku duduk santai, menikmati sore dengan secangkir teh hangat. Baru saja dia beranjak pulang setelah kita makan bersama di rumah, jejak kakinya pun masih terdengar, aku udah kangen lagi sama dia.

Hpku bergetar, sepertinya ada sms. Aku buka dengan penuh keyakinan, itu pasti dia. Dan ternyata aku salah. Sms dari nomor yang tidak aku kenal itu, sepertinya aku familiar dengan tulisannya.

“Nad, aku mau ketemu kamu... (Adit).”
Aku kaget, sontak aku menjatuhkan handphoneku. Aku ambil lagi, kemudian aku diam.
“Adit? Ini udah 6 tahun sejak semuanya berakhir. Mau kamu apa dit?”
“Aku cuma pengen ketemu, Nad. Aku kangen sama kamu.”
“Dit, apa kamu gila? Aku nikah 3 hari lagi. Tolong jangan ganggu aku.”
Setelah beberapa lama akhinya dia membalas smsku.
“Nad, gimana bisa kamu nikah sama dia? Nad, aku nggak bisa, tolong.”

Aku mutusin buat nggak ngebales smsnya. Aku bingung, sangat bingung. Nggak tau harus gimana. Aku takut, aku takut dia bakal nglakuin sesuatu.


***


Hari ini aku berencana pergi ke pemakaman. Sembari menunggu Arian, aku duduk di beranda rumah, menikmati pagi, merasakan hembusan anginnya yang masih perawan. Sejuk, menyela sendi-sendi tulangku. Jarang sekali aku bisa sesantai ini. Kubuka koran harian, kubuka-buka, mungkin saja ada artis favoritku yang nampang di koran.

Ting tong...
Suara bel rumah terdengar dari atas, aku tak menghiraukannya. Aku masih saja asik dengan koran dan teh hangatku.

“Nadaa!” suara mamah terdengar membuyarkan konsentrasiku membaca berita.
“Ya, mah!” sahutku sambil berlari menghampiri mamah.

Jantungku berdetak lebih kencang dan semakin tak beraturan. Badanku lemas seolah tulangku telah melunak menjadi daging. Wajahku menjadi pucat. Seketika HP ditanganku terjatuh.

“Nad!” Sapa seorang laki-laki muda, tinggi sekitar 170 cm, wajah berkulit putih rambut ikal. Seseorang yang sangat aku kenal.
“Aa-a-adit.”
“Kamu masih seperti dulu, cantik.”
“Mau apa kamu kesini?”
“Bolehkah aku masuk?”
“Masuklah.” Kataku dengan nada lirih.
“Apa maksud kedatangan kamu kesini dit?”
“Aku cuma kangen kamu.”
“Dit, tolonglah. Apa sih yang kamu harepin? Sehari lagi aku menikah dengan seseorang yang sangat aku cintai. Jangan kamu hancurin semua ini dit.” Ujarku dengan nada sedikit kesal.

Kurang lebih 10 menit kami terlibat dalam pembicaraan yang cukup menegangkan, cukup menggangguku.

Ting tong...
Bel berbunyi. Hatiku semakin ga menentu. Kenapa ada hal kayak gini sih? Tanyaku dalam hati. Aku berjalan penuh keraguan menuju pintu, berharap bukan Arian yang datang.

“Ta, bukain pintu aja lama banget sih?”
“Arr-r-rian?”
“Kamu kenapa sayang?”

Aku hanya diam. Bingung dan nggak tau harus ngomong apa. Aku menangis penuh ketakutan. Di dalam ada seseorang yang selama bertahun-tahun seperti itu dan nggak pernah berubah. Selalu memaksa keadaan sesuai keinginannya. Aku benar-benar takut.

“Kk-kamu?”

Seseorang datang dari balik pintu membuat kaget laki-laki yang berada di depanku.

“Ta, kenapa orang ini ada disini?”
Aku cuma bisa diem dan terus menangis.
“Mau apa kamu ke sini?”
 Bentak Arian yang seolah heran dan tidak terima melihat kehadirannya.
“Pergi kamu sekarang juga!”
“Kalo aku nggak mau, kamu mau apa?”

Suara tangisku yang semula hanya air mata tanpa suara, kali ini terdengar. Air mataku semakin deras mengucur. Hatiku semakin kacau. Aku tak kuasa melihat semua ini di dua hari sebelum hari pernikahanku.

Mereka berdua bertengkar, dan Arian tak bisa mengendalikan amarahnya. Satu pukulan melayang ke pipi mulus Adit. Adit tidak terima dan membalas pukulan yang diterimanya. Setelah berlangsung untuk beberapa menit aku merasa tidak tahan dan akhirnya aku terjatuh pingsan.

“Ta!”

Arian menggendongku ke sofa. Setelah beberapa saat aku tersadar dan melihat mereka berada di sampingku, Arian terus menggenggam tanganku.

Aku diam beberapa saat, memandangi mereka satu persatu, Arian, Adit. Aku mulai berbicara, lemah, dengan sedikit tenaga yang tersisa.

“Dit, terima kasih untuk kadonya, kado yang nggak akan pernah aku lupain di dua hari menjelang hariku. Sungguh aku nggak akan pernah lupain ini. Apa lagi Dit yang akan kamu lakuin? Apa?” ucapku dengan suara rendah dan setengah menangis. Arian terus saja menggenggam tanganku. Wajahnya yang lebam, menambah kesakitanku.
 “Dit, aku mohon lupain aku. Lihat laki-laki yang ada di sampingmu!! Lihat Dit! Dia orang yang sangat aku cintai. Kamu telah menyakiti dia, dan berarti kamu telah menyakiti aku Dit, lebih dari yang dia rasain.”
“Besok aku menikah, impian dari semua wanita untuk merasakannya. Aku nggak pernah ngebayangin ada kejadian seperti ini menjelang hari bahagiaku. Semua ini menyakitkan.”

Adit tertunduk diam.
Satu kalimat terakhir yang dia ucapkan sebelum beranjak pergi meninggalkan kami.
“Maafin aku Nad!”

Aku masih terus menangis, Arian memelukku untuk menenangkanku. Sungguh ini drama yang menyakitkan yang tidak akan ada satu wanita pun ingin merasakannya di hari-hari menjelang hari bahagianya.
“Sayang, maafin aku.”
Ucap Arian, lirih. Aku masih ingin menangis.


***

Bismillahirrahmaannirrahiim, Astaghfirullahal’adzim, Astaghfirullahal’adzim, Astaghfirullahal’adzim, Asyhadualla illa ha illallah, Wa asyhadu anna muhammadarrosulullah… Ananda Bramantya Arian. Saya nikahkan dan saya kawinkan anak saya Nada Shabila kepada engkau, dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai…
Saya terima nikahnya dan kawinnya Nada Shabila Farhan binti Farhan dengan
mas kawin yang tersebut tunai…


Aku tersenyum namur air mataku menetes, haru. Aku melihat di ujung sana ada sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku, ada mamah, ayah, nenek, kakek, di ujung sana ada Adit, dia menatapku dan tersenyum, lengkap sudah semuanya. Ini adalah yang selama ini aku impikan. Pernikahan yang sempurna. Gaunku, semua detailnya, kesibukan seminggu belakangan ini, ucap janji yang mengharukan, dan semuanya. Kedatangan semua sahabatku, saudaraku, dan mantan kekasihku, doa dari mereka membuat semua ini semakin sempurna. Tuhan, apa ini mimpi?

Setelah ijab kabul di lakukan, kami bersimpuh di hadapan ayah dan ibu kami, secara bergantian, memohon maaf, memohon ijin, dan berterima kasih. Tangis tidak dapat terbendung dari mata kami. Kami semua, ayah, ibu, suamiku, hanyut dalam perasaan haru.

Diiringi dengan musik yang begitu indah, musik yang dia mainkan sendiri, dengan penuh keyakinan mulai melafalkan baris demi baris lirik lagunya. Terdengar indah, sangat indah. Aku mendengarnya melalui hatiku, dan semua pesan itu tersampaikan. Pesan yang berusaha dia sampaikan melalui lagu yang dibuatnya satu bulan lalu. Matanya berbinar penuh makna. Terus memandangiku sambil terus berbicara dengan lagunya. Aku menghampirinya dan ikut hanyut dalam lagu itu bersamanya. Kini tercipta sebuah simphoni, dua nyawa berpadu, gitar dan piano, lambang dari aku dan dia, sangat sempurna. Tepuk tangan dari sudut sana, pandangan kagum mereka akan kebahagiaan kami sungguh terasa. Aku sangat menikmatinya.

Lima menit berlalu, pembawa acara meminta kami duduk kembali. Bersandingan, seperti raja dan ratu. Aku kini tidak lagi iri dengan pernikahan pangeran William dan Kate karena aku kini memilikinya, di pernikahanku yang sederhana tapi bagiku ini lebih dari segalanya.

“Ta, terima kasih.”

Bisik Arian, lirih. Aku tersenyum, memandangnya dengan penuh kekaguman. Aku melihat ke sekeliling. Di saat pembawa acara sibuk dengan mikenya, mata kami sibuk berbicara satu sama lain. Bukankah semua ini sempurna, sayang? Tanyaku dalam hati.

Akhirnya dua lembar terakhir albumku, aku isi dengan foto-foto pernikahan kami. Fotoku sama dia, foto kami bersama keluarga, foto kami bersama sahabat, dan foto kami bersama Adit.


_The End_

The Perfect Wedding Part 3


“Itu foto aku yang aku kasih waktu pertama kali untuk sekian lama, kita bisa ketemu dan saling ngomong, walaupun akhirnya aku ngecewain kamu. Maafin aku ya sayang?” ucapku lirih.
“Iya, Ta. Itu kan udah lama banget, nggak usah diinget-inget lagi.”,”Ngomong-ngomong itu foto kenapa ada di kamu? Nyuri dari dompet aku pasti kamu?”
Aku cuma balas ucapannya dengan senyum kecil.
“Nadaa!”
“I-i-i-iya, Mah!”
Suara ibuku terdengar memanggil setengah berteriak.
“Jelek, aku ke mamah dulu ya?”
“Iya, Ta!”

Aku beranjak dari dudukku, malas rasanya untuk melangkah. Aku ninggalin Arian sendirian di ayunan dengan tetap memandangi foto-foto di albumku. Sepertinya dia sangat tertarik untuk mengetahui ide di otakku yang aku tuangin di album usang itu.

“Ta, disuruh ngapain sama mamah?”
Suaranya terdengar datang tiba-tiba, menghampiriku yang sedang begitu nyaman merebahkan diri di sofa. Menyodorkan sesuatu, yang nggak asing buat aku.
“Mamah Cuma nanya, apa semuanya udah fix.”
“Ohh. Ehmm, ini foto siapa? Kenapa ada di album ini?”
“Sayang, orang itu juga bagian dari hidup aku, bagian cerita hidup aku sampai akhirnya aku ada dititik ini, berdiri bersama kamu.”

***

“Naaaadd!”

Sepertinya ada yang manggil aku, tapi aku masih tetap duduk dengan buku pelajaran di tanganku dan headphone menyumbat telingaku. Aku terlalu asik dengan ini dan malas untuk menghiraukan suara tadi, yang terdengar samar.

“Naaaaadddd!”

Kali ini suara itu terdengar keras dan agak sedikit aneh. Ketika aku menengok sudah ada seorang gadis berdiri di belakang aku dengan wajah sedikit aneh. Sesuatu pasti telah terjadi.

“Nad, ini... itu nad... “
“Pelan-pelan, Ra. Kenapa? Ada sesuatu yang salah?”
Ara adalah teman sebangkuku di kelas 1 SMA. Dia yang selalu ndengerin aku. Dialah yang tahu smua cerita tentang aku.
“Arian.”

Ucapannya kali ini benar-benar membuatku kaget setengah setengah mati. Seperti petir yang menyambar disiang bolong. Tercengang aku melihat sahabatku yang satu ini. Menunggu penuh harap untuk cerita selanjutnya.

“Arian telpon aku, Nad. Telpon ke nomor kamu yang kamu kasihin ke aku.”
“Ra, please jangan bercanda. Nggak lucu tau!”
“Buat apa aku bercanda. Liat lah muka aku. Aku juga kaget Nad!”
 “Please, Ra! Kamu tahu kan? Aku udah mulai bisa menerima semuanya. Aku udah mulai nglupain dia. Kamu tahu kan? Buat sampai ke tahap ini sulit Ra. Adit udah mulai bisa bikin aku lupa semuannya. Jangan bikin aku nginget-inget dia lagi.”
“Demi Tuhan, Nad, aku nggak bohong.”

Aku terdiam. Seketika cerita masalalu itu muncul memenuhi fantasiku. Dulu aku mutusin dia setelah kita pacaran sebulan. Bukan apa-apa, aku begitu tersiksa dengan hubungan kami. Pertama kali pacaran harus udah LDR, aku nggak bisa. Mutusin dia adalah keputusan paling berat yang harus aku ambil, mengingat semua perjuangan aku. Selama bertahun-tahun aku mengharap dia, dan harus berakhir gitu aja setelah aku mendapatkannya baru sebulan sebelumnya. Kalung dari dia pun udah aku simpan rapat-rapat. Aku bahkan pernah berjanji untuk tidak mengambilnya lagi. Aku benar-benar ingin mengubur semuannya. Kembalinya dia seolah menguak lagi luka itu. Terlebih dia muncul saat aku telah menjadi milik orang lain. Napasku menjadi sesak. Entah apa yang harus aku rasakan. Senang, sedih, haru, bingung, aku benar-benar nggak tau harus bagaimana.

“Nad... “
“Aku nggak apa-apa, Ra. Dia ngomong apa?”
“Dia Cuma nanyain kabar kamu. Tadinya dia pikir aku itu kamu. Dia bilang mau telpon lagi ntar sepulang sekolah.”
“Ohh.”

Ucapku mngakhiri pembicaraan siang ini di depan ruang kelas. Sambil menghela napas panjang, aku berlalu meninggalkan dia sendiri, berdiri sambil terus menatapku dengan penuh kebingungan. Ara, kamu pasti tau yang aku rasain saat ini. Kataku dalam hati.

Sepulang sekolah...
“Nad, ini.”
Kata Ara sembari memberikan handphone-nya yang sepertinya telah terhubung dengan seseorang di sana, di tempat yang jauh.
“Nad,”
Seseorang berbicara lirih.
“Nada, ini Arian.” Tambahnya.
“I-i-ii-iya.”
“Lama nggak denger suara kamu. Kamu apa kabar?”
“Baik, kamu apa kabar?”
Sulit sekali untuk memanggil namanya.
“Aku juga baik. Aku boleh minta nomor kamu nggak?”
“I-i-ii-iiya, nanti aku sms-in,” “Udah dulu ya, aku mau pulang dulu.”
“Ohh, iya. Jangan lupa kirimin nomor kamu.”
“Iya. Aku tutup dulu. Bye!”

Aku duduk sebentar. Menghela napas, lagi, dan sekali lagi menghela napas lebih dalam. Ini sungguh seperti mimpi. Anganku terus melayang. Sambil terus meyakinkan diriku bahwa ini cuma mimpi, aku berjalan, beranjak pulang.

***

Waktu udah menunjukkan pukul 22:00, aku masih nggak bisa tidur. Tiba-tiba saja melodi pembuka lagu Tercipta Untukku punya Ungu terdengar, ternyata Hpku yang berbunyi. Di layar tertulis angka berjumlah 12, dan tidak ada namanya. Aku mulai mengangkat dengan nggak ada keraguan sedikit pun di benakku.

“Haloo!”
Suaranya, aku sangat familiar.
“Ar-r-rian.”
Untuk pertama kalinya aku menyebutkan namanya setelah sekian lama aku takut untuk mengucapkannya.
“Nad, lagi sibuk nggak nih?”
“Nggak kok.”
“Gimana Nad?”
“Gimana apanya?”
“Apa kamu udah punya cowok?”
Pertanyaan itu, entah kenapa membuatku merasa aneh. Aku udah punya tapi bibir ini nggak bisa ngomongnya.
“Nad, kenapa diem?”
“I-i-iiya, Yan.”
“Siapa? Pasti dia orang yang hebat?”
“Dia biasa aja kok. Namanya Adit.”
Kami terus mengobrol, walaupun aku masih merasa sangat canggung.
“Nad, apa kamu bahagia sama dia??”

Pertanyaan itu, entah kenapa begitu menyakitkan mendengarnya. Entah apa yang sebenarnya aku rasain. Tiba-tiba aja aku nangis denger dia tanya kayak gitu.

“Nad, kamu kenapa? Kamu nangis? Apa aku salah ngomong?”
“Nggak kok Yan. Kayaknya udah malem banget, aku mau tidur dulu ya, besok kan sekolah.”
“Yyaudah. Maaf ya Nad.”
“Iya. Assalamualaikum”

Aku tutup telponnya, dan air mata ini semakin deras menetes, membanjiri pipiku. Aku memang udah punya dia, Adit. Dia yang perlahan bisa bikin aku senyum waktu aku patah hati. Dia yang mulai bikin aku nglupain luka itu, dan menggeser nama kamu dibenakku, sampai akhirnya kamu dateng lagi. Yan, waktu kamu nanyain itu, aku pengen bilang, seandainya aja aku bisa bahagia sama kamu, bukan sama orang lain.
Semua ini bikin aku sadar kalo kamu, tetaplah kamu. Cuma kamu yang ada di hati aku dan nggak akan pernah bisa digantiin oleh siapa pun.
Beberapa bulan setelahnya aku kembali lagi sama Arian. Ara tau itu, dan dia mendukung aku. Aku senang, dan aku bakal ngejaga apa yang udah aku perjuangin dengan susah payah.


To be continued...

The Perfect Wedding Part 2


“Nad, besok kita bisa ketemu kan?”

Dering HP membangunkanku dari lamunan, sebelumnya anganku sempat bermain-main liar membayangkan banyak hal, ku ambil HP ku dan ternyata orang yang menyebalkan itu sms. Karena aku nggak bisa nglawan perasaan aneh ini, aku nganggep dia orang yang sangat menyebalkan. Cowok aneh sok cool yang keliatan cuma kalo lebaran aja. Tapi, aku nggak bisa membencinya.

“Iya bisa, ya. Tapi sepulang aku dari danau ya. Besok sekeluarga mau ada piknik ke danau dan aku harus ikut. Kamu tungguin aku ya?”
“Pulang jam berapa? Yan pulang lusa pagi nad.”
“Sore juga udah pulang kok ya.”
“Yaudah Yan tunggu.”

Besok paginya...
Dering HP lagi-lagi membangunkanku, kali ini, dari tidur ku yang nggak cukup nyenyak semaleman. Bayangannya dateng terus di langit-langit atapku, di kaca lemari, di dapur, di kamar mandi, ada dimana-mana, bahkan waktu aku merem. Mungkin terlalu seneng karena akhirnya setelah beberapa tahun bisa kayak dulu lagi sama dia, walaupun kita masih canggung satu sama lain.

“Nad, nanti sore jangan lupa!”
“Iya, Yan. Aku siap-siap dulu ya, udah ditunggu ayah soalnya.”
“Iya.”

Bagi anak ABG kayak aku, lebaran masih menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu. Entah karena baju barunya, gajiannya, atau karena ada seseorang yang ditunggu...

“Nada, ayo berangkat!”

Suara ayah terdengar, dengan nada tinggi, keras, terdengar setengah marah, seketika menyelinap celah-celah kecil pintu kamarku yang tertutup rapat, begitulah ayah.

“Iya, Ayah!”

Aku bergegas menemui ayah dan semua anggota keluarga yang semua sudah terlihat hadir, menatapku dengan sedikit kesal. Aku selalu menjadi seseorang yang ditunggu, kemana pun kita akan pergi.
Perjalanan terus berlanjut. Detik, menit, jam demi jam, nggak kerasa udah sore dan kami belum juga beranjak pulang.

“Yah, kapan pulang?”
“Nanti dulu, Nad, nunggu adikmu dulu.”
“Ini udah mau maghrib, yah. Perjalanan pulangnya kan pasti lama, nanti kemaleman loh!”
“Iya, kita shalat maghrib dulu disini.”
“Yaudah.” Tungkasku mengakhiri pembicaraan dengan penuh harap.
Tiba-tiba saja HP ku berbunyi, sms dari Arian.
“Nad, katanya mau ketemuan?”
“Ya, tunggu aku yan, seharusnya udah pulang dari tadi tapi gara-gara adikku jadi ketunda pulangnya.”
“Iya, Nad.”

Waktu menunjukan pukul 09:00 malem tapi aku masih di jalan. Nggak ada harapan buat ketemu. Aku sedih banget, terlebih baca sms dari dia.

“Nad, kenapa sih? Kita ketemu cuma bisa setahun sekali. Yan juga belum tentu tahun depan bisa pulang. Yan cuma pengen ketemu sebentar. Ada yang pengen Yan omongin, tapi kamu kayak gitu. Ngomong Nad kalo nggak mau ketemu sama Yan.”

Dan aku nangis di jalan. Ini adalah waktu yang aku tunggu-tunggu selama bertahun-tahun, tapi aku ngehancurin gitu aja.

Besok paginya...
“Nad, ini ada titipan dari Arian”

Datang seorang wanita setengah baya dengan baju sederhana dan sepertinya sedang terburu-buru, memberikan lipatan kerta. Ya, itu saudara Arian. Aku buka perlahan dan ternyata didalamnya ada sebuah kalung berliontin huruf ‘A’, inisial namanya. Didalamnya berisi beberapa baris tulisan yang isinya:

Buat Nada,
Nad, maafin Yan ya nggak pamit dulu pulangnya. Yan harus pulang pagi-pagi, dan pasti Nada belum bangun. Yan cuma mau bilang kalo Yan kecewa banget. Yan pulang cuma pengen ketemu sama Nada. Arian pengen ngobrol sama Nada, kayak dulu waktu kecil kita sering main bareng. Tapi kayaknya nada nggak ada niat buat ketemu sama Yan. Yan pulang dulu, Nad. Baik-baik ya, mudah2n kita ketemu lagi tahun depan. Makasih fotonya.
Bramantya Arian

Aku nangis baca tulisannya. Nada nggak bermaksud gitu, Yan. Maafin aku... Kataku dalam hati. Untuk beberapa alasan, sebulan kemudian kita pacaran.


To be continued...

Senin, 26 Maret 2012

The Perfect Wedding Part 1



 P


By: Dwi Siwi A.

ernikahan, hal yang menakjubkan bagiku. Impian bagi semua wanita untuk memiliki sebuah pernikahan yang sempurna. Karena aku adalah wanita, maka aku adalah salah satu diantaranya.

Dari kecil aku sudah sangat tertarik dengan pernikahan walaupun belum tahu makna dari pernikahan. Bermain pengantin-pengantinan dengan baju sederhana tapi dibuat sedemikian sehingga menyerupai baju pengantin yang indah, menjuntai, dengan karangan bunga di tangan, setidaknya itulah baju pengantin dibenakku saat itu. Saat aku beranjak dewasa, dengan pengetahuan yang cukup tentang sebuah pernikahan, maka yang ada dibenakku adalah janji yang diucapkan kedua pengantin untuk saling setia, itulah yang indahnya melebihi baju pengantin seindah dan semewah apapun di dunia ini. Aku menangis dalam hati, sebegitu bahagianya, melihat mempelai wanita yang tersenyum simpul disamping prianya, dan sang pria yang mengusap keringat diwajah wanitanya, sungguh aku nanti juga ingin berada diposisi itu. Saat kita ada disana, saat itulah kita menjadi wanita seutuhnya.

Mimpi itu masih terus berlanjut. Bermimpi untuk membuat sendiri baju pengantin yang akan kupakai, membuat lagu untuk resepsinya, merancang konsep ini, itu, mempersiapkan undangan dengan detailnya, sibuk sebelum hari H, dan lain-lain. Aku sangat ingin memilikinya, pernikahan yang sempurna.

***

Uap panas mengepul dari secangkir tehku pagi ini, begitu hangat, menemani aku duduk di ayunan depan rumah. Sebelumnya, aku menyempatkan diri mengambil sebuah album dari tumpukan-tumpukan buku yang tertata rapi di lemari depan. Album ini terlihat usang, warnanya pun sudah terlihat sedikit pudar. Aku buka lembar pertama, tidak ada fotonya tapi di sana tertulis, ‘The Perfect Wedding’. Album itu sebenarnya aku beli 5 tahun lalu ketika aku duduk di bangku kuliah semester 2. Tentang tulisan itu, sebenarnya aku bermaksud membuat sebuah cerita dalam foto-foto yang nanti akan terisi, bersama orang yang aku cinta yang aku berharap bisa sampai ke sebuah titik, pernikahan. Dia pacarku, cinta pertamaku, yang 3 hari lagi akan menjadi suamiku.

“Ta, itu apa?”
Suara seseorang yang sepertinya aku kenal mengagetkanku.
“Arian!”

Ya, dia Arian. Bramantya Arian, cowok dengan tinggi 171 cm, dan sangat mencintai musik. Dia mungkin bisa hidup tanpa aku, tapi tidak bisa tanpa musik, setidaknya itu menurut aku.

“Kenapa kaget gitu? Pagi-pagi jangan ngelamun sayang. Relaks lah, aku tau kamu sangat lelah akhir-akhir ini.”
“Nggak ko, aku cuma lagi ngliatin album aku.”
“Album apa itu? Kok aku nggak pernah tau?”
“Duduklah!”

Dia memang tau segalanya tentang aku, mengenal aku lebih dari aku mengenal diri aku sendiri. Katanya, aku, Nada Shabila Farhan adalah satu-satunya orang yang bisa mengubah hidupnya. Dia sangat mencintai aku, dan aku pun sebaliknya.

Aku mulai membuka halaman kedua. Orang disebelahku sangat terkejut begitu melihat foto itu.
“Ta, itu kann... ??”
“Iya sayang, itu foto kamu waktu SD, tepatnya kelas dua SD. Sepertinya foto itu di ambil saat kamu di pindahkan ke sini oleh orang tua kamu. Kamu pasti nakal banget di sana, makanya disuruh sekolah disini.” Kataku sambil mengusap-usap dan memandangi foto yang telah usang itu.
“Darimana kamu ngedapetin foto itu?”
“Nyuri dari rumah kamu waktu dulu aku main ke Bandung.”
Ucapku sembari tersenyum, malu. Pipiku memerah.
“Aku baru sadar kalo selama ini punya pacar pencuri.”
“Pencuri apa? Ini kan cuma sekedar foto? Jahat banget kamu!”
“Ngambil barang orang lain tanpa ijin apa namanya kalo bukan nyuri?”
“Iya maaf. Lagian cuma foto ini.”
“Siapa bilang? Sejak kita pacaran, nggak tau kenapa aku selalu ngrasa aneh. Aku ngrasa ada sesuatu yang hilang, dan itu pasti kamu yang nyuri.”
“Apa?”
“Sepertinya hati aku yang udah kamu curi.”

Sontak aku tertawa geli, bukan karena gombalannya yang terkesan aneh, tapi karena melihat ekspresi wajahnya saat berusaha menggombaliku. Bukan apa-apa, dia itu selalu bersikap sok cool di depan semua orang, walaupun bagiku dia selalu hangat.

“Kenapa ketawa?”
“Nggak apa-apa, Sayang.”,”Kamu lucu banget. Jelek, rambut kamu aja masih belah tengah gitu. Herannya kenapa dulu aku suka ya sama kamu??”
“Pasti karena aku ganteng lah, apa lagi?
“Udah dibilang dulu kamu jelek. Udah gitu kenapa juga dulu kamu aneh banget, ngga mau keluar dari rumah dan ngga mau ketemu aku seminggu gara-gara surat itu. Pasti kamu juga suka sama aku?”

Kita berdua tertawa sambil terus beradu mulut. Masa-masa seperti ini, ngobrol berdua, cerita-cerita dan ketawa bareng, yang selalu aku rindukan waktu dulu kita pernah saling terpisah. Longdistance selama bertahun-tahun, lebih tepatnya 6 tahun, seringkali membuat aku bosan. Bingung waktu semua rasa itu muncul. Rindu ingin bertemu, iri waktu melihat temen-temenku jalan sama pacarnya, aku sering merasakannya dan selalu bingung, apa yang harus aku lakuin?

“Dan gara-gara surat kayak gitu kita jadi bener-bener jauh. Sejak kejadian itu dan setelah kamu balik lagi ke Bandung di akhir kelas 2 SD, kita satu sama lain menjadi canggung, dan bahkan ngga pernah mau ngomong, di setiap lebaran kita ketemu. Kamu tau, sayang? Aku nggak pernah nglupain kamu. Setiap kamu pulang aku Cuma bisa ngliat kamu dari jauh. Seperti bunga matahari yang selalu melihat ke arah matahari tanpa bisa mendekatinya. Kayak ada sesuatu yang nahan aku buat nemuin kamu, padahal aku pengen banget bisa kenal lagi sama kamu.”

Kuminum tehku yang sudah mulai dingin. Laki-laki disampingku, laki-laki yang ada di foto itu terus saja memperhatikanku, mendengar ceritaku sambil terus memandangiku dengan tidak memalingkan wajahnya barang sekejap.

“Ta?”
“Smp kelas 2, untuk pertama kalinya kita berbicara berhadapan sejak peristiwa itu, di bawah purnama, saat gema takbir di Masjid berkumandang menjelang Hari Raya Idul Fitri esok harinya. Nggak banyak percakapan, sedikit namun sangat melegakan. Apa kamu inget itu semua, sayang?” Jelasku sambil melihat dan lagi, mengusap foto-foto itu.
“Nggak akan pernah lupa, ta!” ucapnya sambil tersenyum. Sangat manis, senyuman yang selalu aku rindukan.
“Kenapa kamu diem terus, onta?”
“Nggak apa-apa, aku cuma pengen denger kamu cerita.”
“Biasanya juga cerewetan kamu kalo lagi marah-marah.” Kataku sambil meledek, dan dia balas dengan ketawa kecil.
Kami terus ngobrol, menghabiskan teh, menambahnya lagi, dan lagi.
‘Tita’ adalah panggilan sayangnya ke aku. Aku sangat menyukainya. Walaupun terkesan seperti anak kecil pake panggilan sayang segala, apa pun itu, aku suka.
“Ta, kamu beda banget.”
“Beda apanya?”
“Ya beda, beda banget sama waktu dulu kamu kecil. Dulu tuh ya, kamu, rambutnya keriting, jelek, kalo main nggak pernah pake baju.” Ucapnya sambil tertawa, aku pun ikut tertawa.
“Biarin si, namanya juga anak kecil”, “Inget nggak kamu pernah nyuri layang-layang dari toko deket sekolah terus kamu bagiin kesemua temen-temen kamu?” Tambahku nggak mau kalah. Sontak kami berdua tertawa.

Membahas masa kecil selalu membuat kita tertawa geli. Banyak hal-hal bodoh dulu sering kita lakukan. Mulai dari nyuri layang-layang, mandi di kali, nyuri jeruk tetangga, main pengantin-pengantinan, dan banyak lagi. Oiya, aku inget banget dulu dia akrab sama ayah, sering ke rumah buat nemuin ayah, dan seringnya kalo dia main kesini pasti ayah lagi ndengerin lagu-lagu sunda. Ayah suka banget lagu-lagu sunda. Beda banget sama tiga tahun belakangan yang ayah kurang setuju sama hubungan kami. Sangat melelahkan tapi semua terselesaikan.
“Ta, ini foto kan... ?”

To be continued...

Minggu, 25 Maret 2012

ONENG


Oneday when you’re comin’ with unkindness smiling

Never I though we’ll be a close friend jusl like now

Even I move outside, run like the cat, catch my peace, you’re there to take me playing

Now I can see whoever you’re, more than whoever know you, more than you understand yourself,

Give me time to say this word, I’m happy to have such a good friend like you

Rabu, 21 Maret 2012

CIRIPA


Could you see?

In the time when you’re down, you’re shining

Reflected whoever you’re

Instead of you look so weak, I know what you’re strong like a shining stars

Probably someday we’ll far apart, I’m gone or you go away

Anything can be something good in memory all that we’ve ever done, don’t forget me